Irana & Garin
“Aku minjem bukunya, ya? Butuh banget, nih!”
Irana merapatkan kedua tangannya sambil terus memasang wajah memohon. Temannya, Ressa, hanya memandang datar. Tanpa bicara Ressa langsung beranjak pada rak buku dinding tepat di sampingnya dan mencari dua buku tebal yang dipinta Irana.
”Yang ini kalau mau. Gue sebenarnya punya tiga, tapi yang satu hilang nggak tahu kemana. Jadi dua aja cukup?”
Irana menerima dua buku yang sangat tebal itu dengan girang. ”Cukup banget, Res! Wah, makasih banyak ya, sayang!” Irana memeluk erat Ressa yang hanya bisa diam melihat tingkah laku Irana yang tergolong terlalu ceria.
”Lo boleh pinjem sampai kapanpun lo butuh. Tapi ingat, jangan sampai rusak atau hilang! Kalau sampai itu terjadi, gantiin! Buku langka tuh.”
”Iya gue tahu, makanya gue pinjem dari lo.”
Ressa kembali ke tempatnya semula, di depan laptop untuk menyelesaikan tugasnya. Sedangkan Irana mencoba berdiri sembari mendekap kedua buku tebal yang berjudul sama, Flat World, dan beranjak dari kamar kos Ressa. ”Ressa-ku, makasih ya pinjaman bukunya . Aku balik dulu, ya!”
Ressa hanya menoleh ke belakang dan melambaikan tangan sambil tersenyum kepada Irana yang sudah berjalan keluar kos-kosan Ressa.
***
Irana duduk dengan sabar di depan mini market yang berada tidak jauh dari kos-kosannya. Ia sudah ada janji dengan seseorang.
Ya, seseorang yang membuat Irana mati-matian mencari buku Flat World itu. Irana mengangkat wajahnya ketika sadar sudah ada seseorang yang ia tunggu sejak lima belas menit yang lalu. Irana tersenyum manis, begitu juga dengan seseorang yang kemudian duduk di samping Irana.
”Udah lama, ya?”
Irana menggeleng. ”Nggak kok, baru lima belas menitan doang.”
sang lawan bicara, Garin, tertawa. ”Maaf, ya, Rana, jadi nunggu.”
”Nggak apa-apa kok. Oh iya, ini kan bukunya. Aku dapat dari temanku. Tapi aku nggak bilang sama dia kalau ini buat dipinjamkan ke orang lain lagi.”
Garin sedikit terkejut, tapi sedikit terbesit juga ada senyum di bibirnya.
”Nggak apa-apa kok, asal dijaga bukunya.”
”Wah, jadi nggak enak. Makasih, ya, Rana.”
Irana tertawa. Tawa yang cukup mengejutkan Garin sehingga ia menoleh heran pada Irana. ”Kenapa?”
Irana menunduk, lalu tersenyum. ”Aku senang aja dipanggil Rana sama kamu. Biasanya orang yang baru kenal aku akan memanggilku Irana atau Ira. Padahal aku lebih suka dipanggil Rana.”
”Oh, bagus deh kalau gitu.”
Irana diam sambil terus menatap Garin yang membuka halaman-demi halaman salah satu buku yang lebih tebal dibanding satunya. Sesaat, Garin menoleh pada Irana yang masih terus mengamati wajah Garin. Garin bertanya dengan kedua bola matanya, namun Irana hanya tersenyum manis. Garin pun ikut tersenyum dan kembali melihat-lihat halaman buku dipangkuannya. Irana, ia pun kembali menatap Garin sambil terus berusaha untuk bersikap wajar agar Garin tidak merasa terganggu.
Dalam hati Irana, ia terus berdoa agar Garin tidak cepat pergi dari sisinya saat ini.
***
”Pa, aku harus ikut ya?”
Irana bertanya dengan nada yang sangat tidak semangat. Pagi di hari minggu, Irana sudah ditelepon oleh ayahnya untuk menanyakan kabar Irana sekaligus memberitahukan keberangkatan mereka sekeluarga ke Malaysia. Irana sangat tidak senang mendengarnya. Di samping ia menyukai tempat kuliah dan juga teman-temannya, ia juga kini menemukan tambatan hatinya dan sedang berjuang untuk bisa mendapatkan cinta dari sang pangeran yang sudah lama ia sukai.
”Kok kamu malah nanya seperti itu? Kalau kamu nggak ikut, kamu mau sama siapa disini? Papa, mama, Abang Risyad, adek kamu, semuanya ikut. Pokoknya kamu harus ikut. Paspor sama visa kamu dan perlengkapan lainnya juga sudah disiapkan sama mama, jangan bikin Papa marah deh.”
Irana hanya mendengus kesal. Mengumpat dalam hati kenapa harus punya seorang ayah yang kerjanya pindah-pindah melulu. Namun Irana hanya bisa pasrah, mengingat tahun lalu Irana sudah menjawab setuju atas kepindahannya sekeluarga ke Malaysia.
”Ya sudah, terserah Papa. Tapi kasih aku waktu ya, Pa. Aku mau menyelesaikan urusanku dulu di sini.”
”Oke, pokoknya besok lusa kamu sudah harus pulang ke rumah.”
***
Irana tak pernah segugup ini. Ia duduk di bangku yang tidak jauh dari parkiran motor kampusnya. Sebenarnya, Irana tidak ada jadwal untuk kuliah. Ia sengaja ke kampus untuk menemui seseorang.
Garin. Ia menunggu Garin di parkiran motor. Ia tahu Garin ada kuliah hari ini. Irana bahkan hafal Garin senang memarkirkan motornya di dekat pohon lebat yang ada di pojokan tempat parkiran. Irana sudah lama memperhatikan Garin, tetapi baru akhir-akhir ini Irana memberanikan diri untuk bisa mengenal Garin secara langsung.
Sesaat kemudian Garin datang. Dengan cepat, Irana berdiri untuk menyambut Garin. Namun, langkahnya terhenti sesaat. Garin tidak sendirian. Ia bersama seorang gadis yang mendekap tangan kanannya dengan erat. Akrab sekali. Irana tidak bisa berkutik. Garin sudah melihatnya dan menyapanya dengan ramah.
”Rana, ngapain di sini?”
Rana bingung menjawab. Ia masih terpesona dengan gadis yang berada di sebelah Garin. Cantik dan modis. Sejenak gadis itu menatap Rana, lalu tersenyum manis. Rana membalasnya walau terlihat dari mukanya ia sangat kikuk dan sedih.
”Aku cuma mau ngabarin ... aku ... aku tuh mau pindah. Jadi kayaknya buku itu harus kamu balikin sendiri sama orangnya.”
”Pindah apa? Pindah kuliah atau pindah ...”
”Pindah ke Malaysia.” potong Irana cepat. ”Aku pindah ke Malaysia sekeluarga. Jadi aku juga pindah kuliah ke sana. Aku udah bilang sama orang yang punya buku itu, namanya Ressa. Nanti aku kasih nomornya. Jadi kamu bisa langsung hubungin dia aja.”
”Kok mendadak banget sih, Rana?”
”Sebenarnya sudah lama. Tapi, papa aku baru ngasih kabar.”
”Oh, ya sudah, hati-hati ya kamu di sana.”
Irana mengangguk.
”Jangan lupain gue.” ujar Garin tertawa. Irana juga ikut tertawa, tapi matanya kini berkaca-kaca. Ia panik dan terus berusaha menahannya.
”Ya sudah, aku pulang duluan ya! Jagain bukunya. Semoga lancar skripsinya.”
Garin mengangguk, kemudian Irana pergi dari tempat itu. Ia berjalan cepat, bahkan setengah berlari. Air matanya langsung menetes sejak ia berbalik dari tempat itu. Irana tidak ingin Garin tahu. Ia sedih sekali. Di dalam hatinya, ada rasa pilu dan sakit yang sudah lama tidak ia rasakan. Irana tak menyangka bahwa Garin sudah punya kekasih yang jauh dari dirinya.
”Yah, aku lupa belum bilang makasih sama Rana. Dia kan yang nyari buku buat skripsi aku.” ujar Garin tiba-tiba pada gadis di sampingnya.
”Sayang...”
”Iya?”
Gadis itu diam sambil terus melihat ke depan, melihat Irana yang kini menjadi titik karena semakin jauh. ”Cewek itu suka banget sama kamu.”
***
Sudah setengah tahun sejak kepergian Irana, Garin baru bisa mengembalikan buku itu kepada pemiliknya, Ressa. Mereka janjian bertemu di foodcourt di depan taman bacaan, seratus meter jaraknya dari kos-kosan Ressa.
”Maaf ya gue baru bisa balikin sekarang.”
”Nggak apa-apa.” jawab Ressa singkat. Ia menerima dua buku yang diberikan Garin dan menyimpannya ke dalam tas selempang miliknya.
”Oh iya,” sahut Ressa sambil meresleting tasnya. ”Ini ada titipan dari Rana.” sambungnya lalu menyerahkan sebuah amplop kuning dengan tulisan ’untuk Garin’ di muka amplopnya. Garin bingung, lalu ia buka amplop itu dan membaca satu lembar kertas besar dari amplop itu. Sepucuk surat.
Dearest Garin
Maaf ya, aku nulis surat. Aku pikir ini lebih baik daripada harus kirim email atau ngomong langsung.
Aku mau ngaku sama kamu. Waktu aku di parkiran motor ketemu sama kamu, aku nggak hanya ingin bilang tentang buku itu. Aku nggak hanya ingin bilang bahwa aku akan pindah ke Malaysia. Tapi aku ingin bilang bahwa aku suka sama kamu. Aku juga ingin kamu tahu, buku itu memang sengaja kucarikan untukmu. Jujur saja, susah ya mencari buku itu. Untung aku masih punya teman yang menyimpan buku itu, jadi aku sungguh lega sekali .
Banyak sekali hal yang ingin aku ketahui dari kamu. Tapi aku sadar waktu itu aku belum mengenalmu, dan kamu pun belum mengenalku. Kita sama-sama dari jurusan yang berbeda, angkatan yang berbeda, kosan yang berbeda, unit kegiatan mahasiswa yang berbeda, dan tempat gaul yang berbeda. Lalu apa yang bisa membuatku mengenalmu? Aku hanya bisa melihatmu dari kejauhan saja. Beruntung kita masih berada dalam satu fakultas dan aku masih bisa memperhatikanmu walau kamu tidak akan pernah menyadarinya.
Maka itu aku bertekad agar aku bisa mengenalmu, dan kamu pun bisa mengenalku. Dengan segala keberanianku, aku tanya alamat emailmu pada salah satu sahabat yang mengenalmu, tak perlu kusebutkan namanya. Ia memberikannya setelah ngotot bertanya apa tujuanku. Jadi, hanya ia yang tahu saat itu bahwa aku sedang berjuang untuk mendekatimu. Hehe, kamu tidak tahu betapa konyolnya aku saat itu.
Walau aku tahu kini kamu punya kekasih, tapi aku tetap mengungkapkan perasaanku padamu. Aku tidak bermaksud untuk merusak hubungan kalian. Aku hanya ingin menyelesaikan urusanku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa perasaanku tulus, murni dan tidak meminta timbal balik. Aku sudah sangat senang dan bersyukur karena aku bisa menjadi temanmu atas usahaku sendiri. Murni sendiri.
Kamu menganggapku teman, bukan?
Garin, semoga kamu sukses dan bahagia, ya. Aku juga bahagia di sini. Karena aku yakin, ketika kamu membaca suratku, senyum manis di bibirmu akan terus terukir dan kamu pun merasa bangga bukan telah disukai oleh gadis sepertiku?
Garin, terima kasih ya atas waktunya selama ini. Terima kasih juga karena kamu mau aku bantu. Aku selalu siap membantumu dan mencarikanmu buku-buku lagi.
Salam Hangat
Irana (Buatmu, Rana saja)
Garin terpaku. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia menoleh pada Ressa yang ada di hadapannya tanpa suara dan mimik muka yang masih tidak menentu.
”Apa katanya?” tanya Ressa penasaran. Garin hanya diam sembari merebahkan badannya ke kursi dan menghela nafas, cukup panjang.
”Jadi email dia yang nawarin gue untuk jadi model fotonya itu alasan doang?”
Ressa hanya mengangkat bahu.
”Gila ya tuh anak, bisa banget ngibulin gue. Sekarang gue nggak heran darimana dia tahu gue.”
”Asal lo tahu, ya, Irana punya banyak cara untuk mendapatkan keinginannya. Gue aja kagum tuh sama cara dia. Sekarang lo jadi speechless, kan?”
Garin tersenyum simpul. Seperti merasa dikalahkan oleh lawan mainnya.
”Lo kenapa? Kok jadi diem gitu?” Ressa penasaran karena Garin jadi diam dan seperti sedang memikirkan sesuatu.
”Nggak tau, tiba-tiba aja gue jadi deg-degan.”
”Deg-degan kenapa?”
Garin menoleh kepada Ressa dengan air muka serius, ”Kayaknya gue jadi suka temen lo deh.”
”Irana???” mata Ressa melotot, ia sungguh tak menyangka.
Garin mengangguk. ”Berhubung gue juga baru putus, kayaknya worth it kalau gue nungguin dia balik. Dia masih suka kan sama gue?”
Ressa hanya diam sambil terus memandang Garin yang kini berbunga-bunga. Tak heran, Irana yang punya kepribadian ajaib –menurutnya- bisa menyukai pria yang ajaib juga seperti yang dilihat di depan matanya sekarang. Tahu begitu, kenapa Irana tidak memberikan surat ini dari dulu saja? Irana dan Garin, Ressa memang tak tahu apa yang ada di pikiran mereka berdua.
****
tamat