Marissa
Gadis itu ada lagi. Setelah beberapa hari ini, aku selalu melihatnya asyik bermain basket sendiri. Dengan peluh dan senyum, kadang kesal dan mengumpat sendiri ia berusaha melempar sang bola dari jarak sejauh mungkin. Aku tak tahu namanya, darimana asalnya, atau dimana sekolahnya. Yang aku tahu, ia bukanlah seseorang dari tetanggaku. Itu juga merupakan alasanku untuk tidak berbasa-basi atau sungguhan bertanya. Hari pertama, hari kedua, dan seterusnya, aku melihat kegiatannya dari sudut pandang yang sama, juga gerakan yang sama. Pantulan bola ke tanah, lemparan ke dalam keranjang, atau tembakan tiga poin yang memperlihatkan bahwa ia sedang belajar dengan keras. Namun, di hari ketujuh ini penasaran mulai menantangku untuk bertanya, atau sekadar melihat dari dekat. Kuturuti itu, aku menghampirinya yang selalu sendirian -- kecuali dengan botol minum dan sekotak tisyu -- di lapangan basket dekat rumahku. Aku duduk di bangku, tempat ia menaruh simpanannya. Agaknya ia mulai terganggu dengan bukti menoleh kearahku dan memandangku masam.
”Aku hanya menonton.” sahutku menjelaskan maksud keberadaanku di sini. Ia merespon dengan sedikit lirikan dan kembali menembak bola ke keranjang, tetapi tidak masuk. Ia melihat lagi ke arahku, kusapa dengan senyum tetapi tak digubris.
”Kelihatannya kamu ada pertandingan ya?” tanyaku basa-basi. Ia diam dan tetap memantulkan bolanya.
”Teman satu tim kemana? Kok kamu sendirian?” tanyaku lagi. Sikap diamnya makin membuatku ingin bertanya, namun kali ini aku sungguh-sungguh.
”Tidak ada pertandingan. Apa saya salah kalau main basket sendiri?”
“Tidak.” jawabku. Aku menghampirinya. Bola itu masih asyik dipantulkan, namun aku tahu matanya menghitung langkahku yang semakin dekat dan membuatnya berdegup.
”Kalau begitu, boleh aku ikut main?”
Ia menatapku. Lima detik tatapannya membuatku tahu jawabannya.
”Kalau begitu, boleh aku tahu namamu?”
”Untuk apa?”
”Untuk bisa memanggilmu dengan nama. Bukan dengan hei atau dengan yang lainnya.”
”Marissa.”
”Kalau rumahmu?”
”Aku tahu untuk apa kamu ingin tahu rumahku. Untuk bisa mendatangiku dan memanggil-manggil namaku di depan rumah, kan?”
Aku tertawa. Gadis ini cerdas dengan sikap ketusnya. Aku perlahan suka padanya.
”Agar aku tahu kalau kamu tidak kesasar karena kamu bukan warga komplek ini.” jelasku padanya. Pelan, wajah masamnya memudar dan yang kulihat kini adalah senyum mengembang. Senyum pertemanan yang kutawarkan padanya disambut baik.
”Aku memang bukan warga sini. Tapi di daerah rumahku tidak ada lapangan basket. Jadi aku kemari karena tempat ini paling dekat dengan daerah rumahku.” ungkapnya. Ia melangkah meninggalkanku dan menghampiri botol minumnya. Selesai, ia mengambil lembar-lembar tisyu dan mengelapkannya kasar pada muka dan tangannya. Aku ikut menghampirinya dan duduk di sampingnya. Secara tidak langsung, ia sudah menyambutku sebagai teman. Namun ia belum tahu namaku. Akan kuperkenalkan diri hingga pertemanan ini bisa dibilang sempurna.
”Kamu tinggal di komplek ini?” tanyanya tiba-tiba. Membuatku urung mengenalkan diri.
”Iya, rumahku tepat menghadap lapangan ini. Aku jadi sering melihatmu hanya dengan mengintip jendela rumah.”
Ia tertawa. Lepas sudah sikap ketusnya. Aku lega dan senang ternyata perlakuannya padaku tadi hanya sikap membela diri, kalau-kalau tadi aku hanya berniat iseng dan akan mengganggunya.
”Aku bermain bukan untuk bertanding. Aku hanya sedang melakukan pembuktian pada diriku sendiri. Jelasnya, aku sedang menantang diri.”
Aku menatap matanya tak mengerti. Ia sadar dan tersenyum menggemaskan. Dengan beberapa detik saja sikapnya jadi manis dan terbuka, membuat aku penasaran siapa dia sebenarnya.
”Waktu SMA, aku masuk klub basket. Tapi disana, aku termasuk siswa yang bodoh. Dilatih tidak pernah bisa. Tidak jarang aku dimaki, dibandingkan dengan yang lain, bahkan direndahkan. Aku tidak tahan, lalu aku keluar. Aku pikir tidak ada gunanya ikut kegiatan seperti itu. Aku jadi tidak suka basket. Malah aku jadi tidak suka bola, segala bola.”
”Bola pimpong?” tanyaku bercanda. Ia menoleh dan tersenyum. Baru aku tahu gigi bawahnya memakai kawat gigi permanen.
”Aku sebal pada basket, termasuk pada orang-orang yang jago basket. Aku sebal karena aku tidak bisa seperti mereka. Aku sebal karena waktu pelatih menghinaku dengan makian khasnya, mereka malah diam dan kadang tertawa. Aku sebal karena gaya mereka seakan terlihat paling wah dan megah di antara yang lain. Aku sebal, kesal, marah, dan sedih. Perasaan negatif yang tertanam pada permainan inilah yang membuatku merasa tertantang untuk mencobanya lagi. Mencoba bahwa aku bisa, setidaknya pada teknik dasar permainan. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa melakukan apapun, termasuk bermain basket.”
”Kamu terobsesi?” tanyaku serius. Rasa penasaran ini makin menjadi.
”Mungkin, tapi bukan pada permainan ini.”
”Lalu?”
Ia menoleh, lalu menatapku agak lama. ”Kamu benar-benar ingin tahu atau sekadar bertanya?”
”Ingin tahu.” jawabku singkat.
”Mungkin kamu tidak mengerti karena kita belum saling mengenal. Ada hal lain yang tidak berkenaan dengan hal ini. Tapi aku berpikir, jika aku mampu melakukan permainan ini sampai taraf kepuasan hati, aku akan sangat senang dan yakin bahwa aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Aku bisa meraih apapun yang aku usahakan. Dengan bermain basket aku sadar, memasukkan bola tidak langsung melemparkannya ke udara dengan tanpa perhitungan. Harus ada langkah satu-dua-tiga untuk bisa melakukan lay-up, harus ada kerja sama dan perasaan ingin menang, dan sebagainya. Impianku juga begitu, aku tidak hanya bisa diam dan tersenyum selalu membayangkannya. Harus ada lelah dan kesal yang kadang tak bisa dielakkan. Aku bermain seminggu ini bukan untuk merealisasikan analogi. Tapi, aku hanya sedang menguatkan keyakinan.”
Aku diam. Ia mengucapkan kalimat demi kalimat tadi dengan mata tertuju pada satu titik. Titik dimana impiannya menjadi gambar hidup dan betapa ia sangat ingin berada dalam gambar itu. Aku mengerti apa yang ia cari, tapi aku tak tahu tentang apa itu. Perkenalan singkat dengan isi yang sangat banyak tentang esensi permainan basket sedikit membuatku merinding. Gadis setinggi pundakku dengan rambut pendek di bawah telinga, berkulit putih dan akan menjadi merah muda karena kepanasan, dan memakai jaket yang sama selama tiga hari terakhir ini membuatku terhenyak. Kupikir ia fokus dengan basket dan segala teorinya. Ternyata bukan itu.
”Apa kamu terobsesi juga dengan tisyu?” tanyaku setelah ia mengambil lagi beberapa tisyu dengan brutal dan mengelapkannya pada muka, tengkuk, dan leher.
”Tidak. Kenapa?”
Aku mengambil handuk segi empat mungil dari saku jaket sebelah kanan, bentuknya hampir sama dengan sapu tangan kain. Aku memberikan kepadanya. Ia diam dan hanya bertanya dengan kedua alis matanya.
”Lebih baik daripada menghabiskan tisyu. Ini jauh lebih praktis dan hemat.” jelasku seraya memberikan langsung pada kedua tangannya. Ia menatapku, lalu tersenyum.
**
Gadis itu ada lagi. Setelah melihatnya selama tujuh hari dulu, aku melihatnya kembali. Kali ini ia sedang duduk di panggung rendah dan dikelilingi orang-orang yang terlihat mengaguminya. Marissa, namanya begitu besar terpajang di samping poster yang berdiri di sebalah kanan dan kiri dirinya yang terduduk manis. Dua tahun sejak pertemuan itu, rambutnya sedikit memanjang. Mungkin karena pernah dipotong beberapa kali, atau entahlah, aku tidak terlalu memikirkan. Aku mendekat ke arah panggung yang berlokasi di depan toko buku terbesar di pusat kota. Ingin lebih mendekat, tetapi banyak orang lebih bernafsu untuk mengabadikan wajahnya atau mendengar suaranya lebih jelas. Ia memeluk novel yang sama dengan yang kupegang erat seharian.
”Menurut saya, novel ini adalah memoar. Namun, ada beberapa yang diubah. Seperti lokasi, rekaan karakter, tanggal dan hari, dan kata-kata yang terucap. Selebihnya itu adalah pengalaman. Pengalaman yang mengajarkan saya dan menuntun saya hingga bisa jadi seperti sekarang ini.” ujarnya manis. Aku asyik memperhatikannya. Wajahnya lebih bersinar dibanding dahulu. Juga senyumnya, seakan memberitahu bahwa ia telah berhasil membuktikan keyakinannya.
Matanya melihat ke depan. Bergantian menoleh kepada setiap bertanya. Pernah juga sekadar menyisir lokasi untuk mengidentifikasi sekitar keberadaanya. Lalu sekejap ia melihatku, menatapku sejenak, lalu tersenyum.
”Anda mau bertanya?” ia menawar padaku. Aku terperangah sebentar, tapi aku langsung siap. Ini kesempatan.
”Dalam memoar Anda, siapakah T? Apa ia penting untuk Anda?” tanyaku membahas isi novel yang sedang dipajang dan kini dipegang setiap orang, termasuk aku dan dirinya. Matanya berpaling ke sebelah kiri. Mungkin pertanyaanku terlalu lancang, tapi aku penasaran.
”Apakah Anda sudah membaca buku saya?” ia balik bertanya.
“Berkali-kali. Saya sangat menyukai buku Anda, dan juga diri Anda.”
Ia tersenyum, lebih lebar dari yang tadi. Matanya juga berbinar. Mukanya kembali kemerahan. Semua yang melihat reaksinya langsung melihat kearahku. Aku menjadi perhatian, mungkin setara dengannya sekarang. Posisi kami jadi berimbang.
”Tisyu. Dialah yang dapat menggantikan tisyu dari kehidupanku. Lagipula, hanya itu yang kutahu dari dirinya. Bukankah sudah kujelaskan dalam buku itu?”
Aku dan dia hanya saling memandang. Beberapa orang di sekitar itu juga memandangi kami satu persatu, lalu memandang yang lain, kemudian memandangi salah satu di antara kami. Aku dan dia saja yang tidak berpindah. Kami sedang saling menukar pesan lewat mata dan senyum yang saling melempar.
”Kamu harus tahu siapa sebenarnya T itu. Namanya Tio.” terangku jelas dengan nada suara yang cukup besar hingga dapat terdengar dengan jarak kami yang terhalang. Kulihat ia berdiri terkejut. Seterusnya ia hanya diam. Beberapa detik kemudian matanya berkaca-kaca dan basah. Ia mengambil tasnya dan merogoh benda yang dicari. Didapat, ia menghapus air matanya dengan benda yang kuberikan dua tahun yang lalu. Handuk mungil segi empat.
”Selamat, Marissa. Kamu berhasil melakukan apa yang kamu mau. Kamu bisa meraih apa yang kamu usahakan. Keyakinan kamu kuat, melebihi lelah selama tujuh hari.”
”Dua terima kasih. Satu untuk pujianmu, satu lagi untuk panggilan namaku pertama kalinya.” sahutnya bahagia. Ada beberapa butiran air mata yang mengalir mengiringi ucapannya.
Aku baru tersadar, kata-katanya benar. Aku baru menyebut namanya selama bertanya dua tahun lewat tujuh hari yang lalu. Mungkin untuk menyamakan kedudukan bahwa ia pun baru mengetahui namaku.
Dan sekali lagi, kami hanya saling berpandangan, lama.
***
”Aku hanya menonton.” sahutku menjelaskan maksud keberadaanku di sini. Ia merespon dengan sedikit lirikan dan kembali menembak bola ke keranjang, tetapi tidak masuk. Ia melihat lagi ke arahku, kusapa dengan senyum tetapi tak digubris.
”Kelihatannya kamu ada pertandingan ya?” tanyaku basa-basi. Ia diam dan tetap memantulkan bolanya.
”Teman satu tim kemana? Kok kamu sendirian?” tanyaku lagi. Sikap diamnya makin membuatku ingin bertanya, namun kali ini aku sungguh-sungguh.
”Tidak ada pertandingan. Apa saya salah kalau main basket sendiri?”
“Tidak.” jawabku. Aku menghampirinya. Bola itu masih asyik dipantulkan, namun aku tahu matanya menghitung langkahku yang semakin dekat dan membuatnya berdegup.
”Kalau begitu, boleh aku ikut main?”
Ia menatapku. Lima detik tatapannya membuatku tahu jawabannya.
”Kalau begitu, boleh aku tahu namamu?”
”Untuk apa?”
”Untuk bisa memanggilmu dengan nama. Bukan dengan hei atau dengan yang lainnya.”
”Marissa.”
”Kalau rumahmu?”
”Aku tahu untuk apa kamu ingin tahu rumahku. Untuk bisa mendatangiku dan memanggil-manggil namaku di depan rumah, kan?”
Aku tertawa. Gadis ini cerdas dengan sikap ketusnya. Aku perlahan suka padanya.
”Agar aku tahu kalau kamu tidak kesasar karena kamu bukan warga komplek ini.” jelasku padanya. Pelan, wajah masamnya memudar dan yang kulihat kini adalah senyum mengembang. Senyum pertemanan yang kutawarkan padanya disambut baik.
”Aku memang bukan warga sini. Tapi di daerah rumahku tidak ada lapangan basket. Jadi aku kemari karena tempat ini paling dekat dengan daerah rumahku.” ungkapnya. Ia melangkah meninggalkanku dan menghampiri botol minumnya. Selesai, ia mengambil lembar-lembar tisyu dan mengelapkannya kasar pada muka dan tangannya. Aku ikut menghampirinya dan duduk di sampingnya. Secara tidak langsung, ia sudah menyambutku sebagai teman. Namun ia belum tahu namaku. Akan kuperkenalkan diri hingga pertemanan ini bisa dibilang sempurna.
”Kamu tinggal di komplek ini?” tanyanya tiba-tiba. Membuatku urung mengenalkan diri.
”Iya, rumahku tepat menghadap lapangan ini. Aku jadi sering melihatmu hanya dengan mengintip jendela rumah.”
Ia tertawa. Lepas sudah sikap ketusnya. Aku lega dan senang ternyata perlakuannya padaku tadi hanya sikap membela diri, kalau-kalau tadi aku hanya berniat iseng dan akan mengganggunya.
”Aku bermain bukan untuk bertanding. Aku hanya sedang melakukan pembuktian pada diriku sendiri. Jelasnya, aku sedang menantang diri.”
Aku menatap matanya tak mengerti. Ia sadar dan tersenyum menggemaskan. Dengan beberapa detik saja sikapnya jadi manis dan terbuka, membuat aku penasaran siapa dia sebenarnya.
”Waktu SMA, aku masuk klub basket. Tapi disana, aku termasuk siswa yang bodoh. Dilatih tidak pernah bisa. Tidak jarang aku dimaki, dibandingkan dengan yang lain, bahkan direndahkan. Aku tidak tahan, lalu aku keluar. Aku pikir tidak ada gunanya ikut kegiatan seperti itu. Aku jadi tidak suka basket. Malah aku jadi tidak suka bola, segala bola.”
”Bola pimpong?” tanyaku bercanda. Ia menoleh dan tersenyum. Baru aku tahu gigi bawahnya memakai kawat gigi permanen.
”Aku sebal pada basket, termasuk pada orang-orang yang jago basket. Aku sebal karena aku tidak bisa seperti mereka. Aku sebal karena waktu pelatih menghinaku dengan makian khasnya, mereka malah diam dan kadang tertawa. Aku sebal karena gaya mereka seakan terlihat paling wah dan megah di antara yang lain. Aku sebal, kesal, marah, dan sedih. Perasaan negatif yang tertanam pada permainan inilah yang membuatku merasa tertantang untuk mencobanya lagi. Mencoba bahwa aku bisa, setidaknya pada teknik dasar permainan. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa melakukan apapun, termasuk bermain basket.”
”Kamu terobsesi?” tanyaku serius. Rasa penasaran ini makin menjadi.
”Mungkin, tapi bukan pada permainan ini.”
”Lalu?”
Ia menoleh, lalu menatapku agak lama. ”Kamu benar-benar ingin tahu atau sekadar bertanya?”
”Ingin tahu.” jawabku singkat.
”Mungkin kamu tidak mengerti karena kita belum saling mengenal. Ada hal lain yang tidak berkenaan dengan hal ini. Tapi aku berpikir, jika aku mampu melakukan permainan ini sampai taraf kepuasan hati, aku akan sangat senang dan yakin bahwa aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Aku bisa meraih apapun yang aku usahakan. Dengan bermain basket aku sadar, memasukkan bola tidak langsung melemparkannya ke udara dengan tanpa perhitungan. Harus ada langkah satu-dua-tiga untuk bisa melakukan lay-up, harus ada kerja sama dan perasaan ingin menang, dan sebagainya. Impianku juga begitu, aku tidak hanya bisa diam dan tersenyum selalu membayangkannya. Harus ada lelah dan kesal yang kadang tak bisa dielakkan. Aku bermain seminggu ini bukan untuk merealisasikan analogi. Tapi, aku hanya sedang menguatkan keyakinan.”
Aku diam. Ia mengucapkan kalimat demi kalimat tadi dengan mata tertuju pada satu titik. Titik dimana impiannya menjadi gambar hidup dan betapa ia sangat ingin berada dalam gambar itu. Aku mengerti apa yang ia cari, tapi aku tak tahu tentang apa itu. Perkenalan singkat dengan isi yang sangat banyak tentang esensi permainan basket sedikit membuatku merinding. Gadis setinggi pundakku dengan rambut pendek di bawah telinga, berkulit putih dan akan menjadi merah muda karena kepanasan, dan memakai jaket yang sama selama tiga hari terakhir ini membuatku terhenyak. Kupikir ia fokus dengan basket dan segala teorinya. Ternyata bukan itu.
”Apa kamu terobsesi juga dengan tisyu?” tanyaku setelah ia mengambil lagi beberapa tisyu dengan brutal dan mengelapkannya pada muka, tengkuk, dan leher.
”Tidak. Kenapa?”
Aku mengambil handuk segi empat mungil dari saku jaket sebelah kanan, bentuknya hampir sama dengan sapu tangan kain. Aku memberikan kepadanya. Ia diam dan hanya bertanya dengan kedua alis matanya.
”Lebih baik daripada menghabiskan tisyu. Ini jauh lebih praktis dan hemat.” jelasku seraya memberikan langsung pada kedua tangannya. Ia menatapku, lalu tersenyum.
**
Gadis itu ada lagi. Setelah melihatnya selama tujuh hari dulu, aku melihatnya kembali. Kali ini ia sedang duduk di panggung rendah dan dikelilingi orang-orang yang terlihat mengaguminya. Marissa, namanya begitu besar terpajang di samping poster yang berdiri di sebalah kanan dan kiri dirinya yang terduduk manis. Dua tahun sejak pertemuan itu, rambutnya sedikit memanjang. Mungkin karena pernah dipotong beberapa kali, atau entahlah, aku tidak terlalu memikirkan. Aku mendekat ke arah panggung yang berlokasi di depan toko buku terbesar di pusat kota. Ingin lebih mendekat, tetapi banyak orang lebih bernafsu untuk mengabadikan wajahnya atau mendengar suaranya lebih jelas. Ia memeluk novel yang sama dengan yang kupegang erat seharian.
”Menurut saya, novel ini adalah memoar. Namun, ada beberapa yang diubah. Seperti lokasi, rekaan karakter, tanggal dan hari, dan kata-kata yang terucap. Selebihnya itu adalah pengalaman. Pengalaman yang mengajarkan saya dan menuntun saya hingga bisa jadi seperti sekarang ini.” ujarnya manis. Aku asyik memperhatikannya. Wajahnya lebih bersinar dibanding dahulu. Juga senyumnya, seakan memberitahu bahwa ia telah berhasil membuktikan keyakinannya.
Matanya melihat ke depan. Bergantian menoleh kepada setiap bertanya. Pernah juga sekadar menyisir lokasi untuk mengidentifikasi sekitar keberadaanya. Lalu sekejap ia melihatku, menatapku sejenak, lalu tersenyum.
”Anda mau bertanya?” ia menawar padaku. Aku terperangah sebentar, tapi aku langsung siap. Ini kesempatan.
”Dalam memoar Anda, siapakah T? Apa ia penting untuk Anda?” tanyaku membahas isi novel yang sedang dipajang dan kini dipegang setiap orang, termasuk aku dan dirinya. Matanya berpaling ke sebelah kiri. Mungkin pertanyaanku terlalu lancang, tapi aku penasaran.
”Apakah Anda sudah membaca buku saya?” ia balik bertanya.
“Berkali-kali. Saya sangat menyukai buku Anda, dan juga diri Anda.”
Ia tersenyum, lebih lebar dari yang tadi. Matanya juga berbinar. Mukanya kembali kemerahan. Semua yang melihat reaksinya langsung melihat kearahku. Aku menjadi perhatian, mungkin setara dengannya sekarang. Posisi kami jadi berimbang.
”Tisyu. Dialah yang dapat menggantikan tisyu dari kehidupanku. Lagipula, hanya itu yang kutahu dari dirinya. Bukankah sudah kujelaskan dalam buku itu?”
Aku dan dia hanya saling memandang. Beberapa orang di sekitar itu juga memandangi kami satu persatu, lalu memandang yang lain, kemudian memandangi salah satu di antara kami. Aku dan dia saja yang tidak berpindah. Kami sedang saling menukar pesan lewat mata dan senyum yang saling melempar.
”Kamu harus tahu siapa sebenarnya T itu. Namanya Tio.” terangku jelas dengan nada suara yang cukup besar hingga dapat terdengar dengan jarak kami yang terhalang. Kulihat ia berdiri terkejut. Seterusnya ia hanya diam. Beberapa detik kemudian matanya berkaca-kaca dan basah. Ia mengambil tasnya dan merogoh benda yang dicari. Didapat, ia menghapus air matanya dengan benda yang kuberikan dua tahun yang lalu. Handuk mungil segi empat.
”Selamat, Marissa. Kamu berhasil melakukan apa yang kamu mau. Kamu bisa meraih apa yang kamu usahakan. Keyakinan kamu kuat, melebihi lelah selama tujuh hari.”
”Dua terima kasih. Satu untuk pujianmu, satu lagi untuk panggilan namaku pertama kalinya.” sahutnya bahagia. Ada beberapa butiran air mata yang mengalir mengiringi ucapannya.
Aku baru tersadar, kata-katanya benar. Aku baru menyebut namanya selama bertanya dua tahun lewat tujuh hari yang lalu. Mungkin untuk menyamakan kedudukan bahwa ia pun baru mengetahui namaku.
Dan sekali lagi, kami hanya saling berpandangan, lama.
***
0 Response to "Marissa"
Posting Komentar